Cerita Dewasa : Keperawananku Hilang di Robek Pak Tanba
Cerita Dewasa : Keperawananku Hilang di Robek Pak Tanba -
Shinta adalah seorang dokter muda. Dia baru saja menamatkan
pendidikannya pada sebuah universitas ternama di Sumatera. Selain
kecerdasannya yang mengantarkan dirinya meraih gelar dokter. Shinta juga
merupakan gambaran profil generasi muda masa kini. Disamping sebagai
gadis yang sangat cantik, Shinta yang berusia 24 tahun ini juga lincah
dan intelek dan dikenal oleh teman-temannya sebagai gadis yang cinta
lingkungan dan masalah sosial budaya. Dia sangat senang dengan
petualangan alam. Selama 2 tahun terakhir di kampusnya Shinta dipercaya
teman-temannya menjadi Ketua Group Pecinta Alam. Sangat kontras memang.
Dilihat dari penampilan fisiknya yang demikian cantik dan lembut Shinta
adalah ahli bela diri Kung Fu pemegang sabuk hitam.
Disamping
itu dia juga sebagai pemanjat tebing yang handal dan juga beberapa kali
telah mengikuti kegiatan arung jeram dengan menelusuri sungai-sungai
ganas di seputar Sumatera. Sebagaimana dokter baru ia harus menjalani
masa PTT pada
sebuah desa yang jauh dari tempat tinggalnya. Reaksi orang tuanya dalam
hal ini ibunya dan Rudi tunangannya adalah sangat keberatan saat
mendengar bahwa dia harus bertugas di desa terpencil itu. Ibu Shinta
sangat menyayangi Shinta. Beliaulah yang terus mendorong sekolah Shinta
hingga lulus menjadi dokter. Orang tua Shinta cerai saat Shinta masih
kecil. Sampai tamat dokter Shinta mengikuti ibunya. Shinta tak pernah
kenal dan tahu bagaimana dan dimana ayahnya sekarang. Selain jauh dari
kotanya daerah itu masih sangat terbelakang dan terisolir. Bayangkan,
untuk mencapai daerah itu orang harus seharian naik bus antar kota,
kemudian disambung dengan ojek hingga ke tepian desa yang dimaksud. Di
desanya sendiri yang sama sekali tak ada sarana transportasi juga belum
terjangkau oleh penerangan listrik. Tak ada TV dan belum ada sambungan
pesawat telpon maupun antene repeater untuk penggunaan hand phone.
Ibunya minta pamannya yang adik kandung ibunya bersama Rudi tunangannya
untuk menyempatkan diri meninjau langsung desa itu. Sepulang dari desa
tersebut mereka menyatakan bahwa betapa berat medan yang akan dihadapi
oleh Shinta nantinya. Mereka khawatir dan cemas pada Shinta yang
rencananya pada bulan Haji nanti akan dinikahkan dengan Rudi. Shinta dan
Rudi telah bertunangan selama hampir 2 tahun. Rudi sendiri adalah
seorang insinyur pertanian yang telah bekerja di Dinas Pertanian
Kabupaten. Tetapi semua kecemasan dan kekhawatiran orang tua dan
tunangannya itu tidak terlampau ditanggapi oleh Shinta. Untuk lebih
menghayati cerita selanjutnya, biarlah Shinta sendiri yang
menceriterakan kisah yang dialaminya sebagaimana yang tertera di bawah
ini.
Perjalanan
itu hampir memakan waktu 1 jam. Mungkin hanya 10 menit kalau jalanannya
macam jalan aspal di kota. Sampai di pintu desa nampak mereka yang
menjemputku. Masih beberapa rumah dan kebon yang mesti kami lewati. Aku
mendapatkan seorang perempuan yang sedang menggigil karena demam yang
tinggi. Sesudah kuperiksa dia kuberi obat-obatan yang diperlukan. Kepada
suami dan kerabatnya yang di rumah itu aku berkesempatan memberikan
sedikit penerangan kesehatan. Aku sarankan banyak makan sayur dan
buah-buahan yang banyak terdapat di desa itu. Bagaimana mencuci bakal
makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan terlalu asyik dengan ikan
asin. Kalau berkesempatan buatlah kakus yang benar. Perhatikan
kebersihan rumah dan sebagainya. Terkadang Pak Tanba ikut melengkapi
omonganku. Dari sekian puluh kali dia mengantar aku, akhirnya dia juga
menguasai ilmu populer yang sering kusiarkan pada penduduk itu.
Saat
pulang, kilat dari langit makin sering dengan sesekali diiringi suara
guntur. Jam tanganku menujukkan pukul 10.30 malam. Ah, hujan, nih. Pak
Tanba mencoba mempercepat laju kendaraannya. Angin malam di pedesaan
yang dingin terasa menerpa tubuhku.
Kira-kira setengah perjalanan kami rasakan hujan mulai
jatuh. Lampu motor Pak Tanba menerangi titik-titik hujan yang seperti
jarum-jarum berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada pinggulnya
dan lebih menyandarkan kepalaku ke punggungnya untuk mencari kehangatan
dan menghindarkan jatuhan titik-titik air ke wajahku.
Hujan
memang tak kenal kompromi. Makin deras. Aku pengin ngomong ke Pak Tanba
agar berteduh dulu, tetapi derasnya hujan membuat omonganku tak
terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan aku semakin erat memeluki
pinggulnya. Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya kami mendapatkan dangau
beratap daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau tempat
jualan milik orang desa sebelah. Kalau siang hari tempat ini dikunjungi
orang yang mau beli peniti, sabun atau barang-barang kebutuhan lain yang
bersifat kering. Ada ‘amben’ dari bambu yang tidak luas sekedar cukup
untuk duduk berteduh. Pak Tanda lekas menyandarkan motornya kemudian
lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya duduk.
“Sini Pak, cukup ini buat berdua,”
Dan tanpa canggung dia mendekat ke aku dan sambil merangkulkan tangannya ke pundakku duduk di sampingku.
“Ibu kedinginan?”
“Iyalah, Pak..” sambil aku juga merangkul balik pinggangnya dengan rasa akrab.
Untuk
beberapa saat kami hanya diam mendengarkan derasnya hujan yang
mengguyur. Omongan apapun nggak akan terdengar. Suara hujan yang seperti
dicurahkan dari langit mengalahkan suara-suara omongan kami. Beberapa
kali aku menekan pelukanku ke tubuh Pak Tanba untuk lebih mendapatkan
kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah menempel ke dadanya.
Aku
nggak tahu bagaimana mulanya. Kudengar dengusan nafas Pak Tanba di
telingaku dan tahu-tahu kurasakan mukanya telah nyungsep ke leherku. Aku
diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan aku merasakan betapa
damai pada saat-saat seperti ini ada Pak Tanba. Aku juga ingin membuat
dia merasa senang di dekatku.
Tiba-tiba
dia menggerakkan kecil wajahnya dan leherku merasakan bibirnya
mengecupku. Aku juga diam. Aku sendiri sesungguhnya sedang sangat lelah.
Ini jam-jam istirahatku. Kondisi rasio dan emosiku cenderung malas. Aku
cenderung cuek dan membiarkan apa maunya. Aku nggak perlu
mengkhawatirkan ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak
berkorban untukku. Dan aku sendiri yang semakin kedinginan karena
pakaianku yang basah ditambahi oleh angin kencang malamnya yang sangat
dingin merasakan bibir itu mendongkrak kehangatan dari dalam tubuhku.
Bahkan kemudian aku juga tetap membiarkan ketika akhirnya kurasakan
kecupan itu juga dilengkapi dengan sedotan bibirnya. Aku hanya sedikit
menghindar.
“Aiihh..” desahku tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menghindar. Hingga kudengar.
“Bb.. Bu dokteerr..” desis bisik setengah samar-samar di tengahnya suara hujan yang semakin deras menembusi gendang telingaku.
“Buu..” kembali desis itu.
Dan aku hanya, “Hhmm..”
Aku
nggak tahu mesti bagaimana. Aku secara tulus menyayangi Pak Tanba
sebagai sahabat dan orang yang telah demikian banyak menolong aku. Aku
menyayanginya juga karena adanya rasa ‘damai dan terlindungi’ saat dia
berada di dekatku. Aku juga menyayanginya karena rasa hormatku pada
seorang lelaki yang begitu ‘concern’ akan nilai tanggung jawabnya. Aku
menyayangi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada seorang manusia yang
juga mampu menunjukkan rasa sayangnya pada sesama manusia lainnya.
Adakah
aku juga menyayangi karena hal-hal lain dari Pak Tanba yang usianya
mungkinlebih tua dari ayahku? Adakah aku sedang dirundung oleh rasa
sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang ayah yang belum pernah
kujumapi? Adakah aku merindukan belaian Rudi tunanganku? Sementara aku
masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan bibir dengan halus
melata pelan ke atas menyentuhi kupingku yang langsung membuat darahku
berdesir.
Jantungku
tersentak dan kemudian berdenyut kencang. Tubuhku tersentak pula oleh
denyut jantungku. Rasa dingin yang disebabkan angin malam dan pakaian
basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku menuntun tanganku untuk
berusaha mencari pegangan. Dan pada saat yang bersamaan tangan kiri Pak
Tanba mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya merangkul untuk
kemudian menelusup ke bawah baju basahku. Dia meraba kemudian
mencengkeramkan dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku.
Kemudian
juga meremasinya pelan. Darahku melonjak dalam desiran tak tertahan.
Jari-jari tangannya yang kasar itu menyentuh dan menggelitik puting
susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak Tanba lakukan ini. Tetapi aku
tak hendak menolak. Aku merasakan semacam nikmat. Aku menggelinjang
berkat remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung disergap rasa
dahaga yang amat sangat.
Dengan
sedikit menggeliat aku mendesah halus sambil sedikit menarik leher dan
menengadahkan mukaku. Sebuah sergapan hangat dan manis menjemput
bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh.. Apa yang
telah terjadi.. Apa yang melandaku dalam sekejab ini.. Apa yang
melemparkan aku dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini..
Seperti
burung yang terjerat pukat, aku merasakan ada arus yang mengalir kuat
dan menyeretku. Namun aku tak berusaha mencari selamat. Aku justru
kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus itu. Tanganku bergerak
ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Aku
ingin dia benar-benar melumatku habis.
Aku
mau dahagaku terkikis dengan lumantannya. Aku menghisap bibirnya. Kami
saling melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan aku menyedotinya.
Aku langsung kegerahan dalam hujan lebat dan dinginnya malam pedesaan
itu. Tubuhku terasa mengeluarkan keringat. Mungkin pakaianku mengering
karena panas tubuhku kini.
“Mmmhh..” desahnya.
“Mllmmhh..” desahku.
Aku
tak tahu lagi apa yang berikutnya terjadi. Aku hanya merasa Pak Tanba
merebahkan tubuhku ke ‘amben’ bambu itu sambil mulutnya terus melumati
bibirku. Dan tanganku tak lepas dari pegangan di kepalanya untuk aku
bisa lebih menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang tertimpa
bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan cepat
menggiring kami ketepian samudra birahi. Hasrat menggelora menggelitik
saraf-saraf libidoku.
Kemudian
kehangatan bibir itu melepas dari bibirku untuk melata. Pak Tanba sesaat
melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk kemudian turun melumati
daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah ini demikian mengobarkan syahwatku..
Ayoo.. Terus Paakk.. Aku hauss.. Pak Tanbaa..
Leherku
mengelinjang begitu bibir Pak Tanba menyeranginya. Kecupan demi kecupan
dia lepaskan dan aku tak mampu menahan gejolak nafsuku. Aku beranikan
menjerit di tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat tepian desa
ini.
“Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak Tanbaa.. “.
Aku menggelinjang kuat. Aku meronta ingin Pak Tanba merobek-robek nafsu birahiku. Aku ingin dia cepat menyambut dahagaku.
Tiba-tiba
tangan Pak Tanba merenggut keras baju dokterku. Dia renggut pula
blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus terlepas. Pak Tanba
menunjukkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar
oleh hasrat nikmat birahiku. Aku merasakan seorang yang sangat jantan
sedang berusaha merampas kelembutan keperempuananku. Dan aku harus
selekasnya menyerah pada kejantanannya itu.
Dia
‘cokot’i buah dadaku. Dia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit
pentil-pentilku. Sambil tangannya mengelusi pinggulku, pantatku, pahaku.
Ciuman-ciumannya
terus menyergapi tubuhku. Dari dada turun ke perut dan turun lagi..
Turun lagi.. Aku benar-benar terlempar ke awang lepas. Aku memasuki
kenikmatan dalam samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba lakukan
pada tubuhku belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sama sekali tak
mempertimbangkan adanya Rudi tunanganku itu.
Dan
yang lebih-lebih menyiksaku kini adalah rasa gatal yang sangat di
seputar kemaluanku. Tanpa mampu kuhindarkan tanganku sendiri berusaha
menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa rasa malu aku lepasi
celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Aku menekan-nekan bagian
atas vaginaku untuk mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan
birahiku meleleh luber keluar dari vaginaku.
Sensasi
dari Pak Tanba terus mengalir. Kini bibirnya telah merasuk lebih
kebawah. Dia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu
membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam
upaya menahan kegatalan syahwatku. Pak Tanba rupanya tahu. Bibirnya
langsung merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku.
Lidahnya menjilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp..
Saat menyedoti cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang
nafsuku.
Aku
tak tahan lagi. Aku ibarat hewan korban persembahan Pak Tanba yang siap
menerima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut agar
persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu Pak Tanba agar bangkit
dan cepat menikamkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..
Aku
tak tahu kapan Pak Tanba melepasi pakaiannya. Bahkan aku juga tak
sepenuhnya menyadari kenapa kini aku telah telanjang bulat. Pak Tanba
memang lekas merespon kobaran nafsuku. Dia telah jauh pengalamannya. Apa
yang aku lakukan mungkin sudah sering dia dapatkan dari istri-istrinya.
Dengan sigap dia naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia
benamkan wajahnya ke lembah ketiakku. Dia menjilati dan menyedotinya.
Sementara
itu aku juga merasakan ada batang keras dan panas menekan pahaku. Tak
memerlukan pengalaman untuk mengetahui bahwa itu adalah kemaluan Pak
Tanba yang telah siap untuk menikam dan menembusi kemaluanku. Tetapi dia
terhenti. Detik-detik penantianku seakan-akan bertahun-tahun. Dia
berbisik dalam parau.
“Bu Dokter, ibu masih perawan?”
Aku
sedikit tersentak atas bisikkannya itu. Yaa.. Aku memang masih perawan.
Akankah aku serahkan ini kepada Pak Tanba? Bagaimana dengan Rudi nanti?
Bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan risiko moralku?
Bagaimana dengan karirku? Dalam sekejab aku harus mengambil sikap.
Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik.
Dalam
posisi begini ternyata aku mampu berpikir jernih, walau sesaat.
Kemudian aku kembali ke arus syahwat birahi yang menyeretku. Aku tidak
menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung menjemput bibirnya
untuk melumatinya sambil sedikit merenggangkan pahaku. Aku rela
menyerahkan keperawananku kepada Pak Tanba.
Ditengah
derasnya hujan dan dinginnya pedesaan, diatas ‘amben’ bambu dan
disaksikan dangau beratap daun nipah di tepi jalan tidak jauh dari pintu
desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku. Aku tak menyesalinya.
Hal itu sangat mungkin karena rasa relaku yang timbul setelah melihat
bagaimana Pak Tanba tanpa menunjukkan pamrihnya membantu tugas-tugasku.
Dan mungkin juga atas sikapnya yang demikian penuh perhatian padaku.
Rasa ‘adem’ dan ‘terlindungi’ dari sosok dan perilaku Pak Tanba demikian
menghanyutkan kesadaran emosi maupun rasioku hingga aku tak harus
merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.
Sesaat
setelah peristiwa itu terjadi Pak Tanba nge-’gelesot’ di rerumputan
dangau itu sambil menangis di depan kakiku. Ini juga istimewa bagiku
karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa menangis.
“Maafkan kekhilafan saya, Bu Dokter. Saya minta ampuunn..”
Tetapi
aku cepat meraihnya untuk kembali duduk di ‘amben’. Bahkan aku
merangkulinya. Bahkan sambil kemudian menjemput bibirnya dan kembali
melumatinya aku katakan bahwa aku sama sekali rela atas apa yang Pak
Tanba telah lakukan kepadaku. Malam itu sebelum beranjak pulang kami
sekali lagi menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba
menuntunku bagaimana supaya aku bisa meraih orgasmeku. Dia bimbing aku
untuk menindih tubuhnya yang kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk
diarahkan ke kemaluanku. Kemudian dia dorong tarik sesaat sebelum aku
berhasil melakukannya sendiri. Betapa sensasi syahwat langsung
menyergapku. Aku mengayun pantat dan pinggulku seperti perempuan yang
sedang mencuci di atas penggilesan. Hanya kali ini yang berayun bukan
tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil meraih orgasmeku
secara beruntun menyertai saat-saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba
yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan
panasnya semprotan sperma kentalnya dalam liang sanggamaku.
Aneh,
saat kami bersiap pulang langit mendadak jadi terang benderang. Bahkan
bulan yang hampir purnama membagikan cahayanya mengenai pematang sawah
di tepian jalan itu. Sebelum Pak Tanba menarik motornya dia sekali lagi
meraih pinggangku dan kembali memagut bibirku kemudian.
“Bu Dokter maukah kamu menjadi istriku?,”
Aku tak menjawab dalam kata pula. Aku hanya mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan ‘aduh’.
Dalam
keremangan cahaya bulan kami memasuki desa tantanganku. Aku merenungi
betapa desa ini telah memberiku banyak arti dalam hidupku. Dan pada dini
pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Aku akan mengabdi pada desa
tantanganku ini. Aku akan jadi dokter desa dan tinggal bersama suamiku
sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu.
Saat
pamanku datang menjemput dan kebetulan tanpa disertai Rudi karena
sedang bertugas di luar kotanya semuanya kuceritakan kepadanya.
Kusampaikan bahwa dengan sepenuh kesadaranku aku telah menemukan jalan
dan pilihanku. Aku akan mengabdi di desa tantanganku. Dan aku minta
tolong untuk disampaikan kepada Rudi permohonan maafku yang telah
mengecewakannya. Dan tentu saja kepada ibuku disamping restunya yang
selalu aku perlukan.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa
dengan judul Cerita Dewasa : Keperawananku Hilang di Robek Pak Tanba. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintasintim.blogspot.com/2014/01/cerita-dewasa-keperawananku-hilang-di.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Meisya - Rabu, 22 Januari 2014