Cerita Dewasa : ML Dengan Pembantuku Ning sih Yang Manizz
Cerita Dewasa ML Dengan Pembantu
– Cewek yang akan bekerja dirumah itu bernama Ningsih, baru berusia
(hampir) 16 tahun. Wajahnya cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya
sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo
matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis
sinetron. Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari
sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa
banyak tanya, langsung dia kuterima. Bagaimana cerita mesum ini
berlanjut, berikut akan anda baca selengkapnya :
Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari daun-daun muda untuk “obat awet muda”. Dan memang pekerjaanku menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi finansial. Namun semenjak istriku tahu aku memiliki banyak sekali simpanan, suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit. Biarlah, malah aku bisa lebih bebas menyalurkan hasrat.
Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, aku terpaksa mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan “obat stress”. Salah seorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia (hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron. Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya, langsung dia kuterima.
Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari daun-daun muda untuk “obat awet muda”. Dan memang pekerjaanku menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi finansial. Namun semenjak istriku tahu aku memiliki banyak sekali simpanan, suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit. Biarlah, malah aku bisa lebih bebas menyalurkan hasrat.
Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, aku terpaksa mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan “obat stress”. Salah seorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia (hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis sinetron. Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya, langsung dia kuterima.
Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih memang cukup cekatan
mengurus rumah. Namun beberapa kali pula aku memergokinya sedang sibuk
di dapur dengan mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat mini. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan, aku mendekat dari belakang dan kucubit paha
gadis itu. Ningsih terpekik kaget, namun setelah sadar majikannya yang
berdiri di belakangnya, ia hanya merengut manja.
Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat melotot disuguhi
pemandangan yang ‘menegangkan’ saat Ningsih yang hanya berdaster tipis
menungging sedang mengepel lantai, pantatnya yang montok bergoyang
kiri-kanan. Tampak garis celana dalamnya membayang di balik dasternya.
Tidak tahan membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat Ningsih
keras-keras.
“Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok merangsang sekali!”
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan pekerjaannya. Dengan sengaja pantatnya malah digoyang semakin keras.
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan pekerjaannya. Dengan sengaja pantatnya malah digoyang semakin keras.
Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pantat gadis itu kuat-kuat
untuk menahan goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan, jempolku
sengaja mengelus selangkangan gadis itu, menghentikan tawanya. Karena
diam saja, perlahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung
dasternya.”Eh.. Ndoro.. jangan..!” cegah Ningsih lirih.
“Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!”
“Jangan, Ndoro.. malu.. jangan sekarang..!”
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke dapur.
“Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!”
“Jangan, Ndoro.. malu.. jangan sekarang..!”
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke dapur.
Malam harinya lewat intercom aku memanggil Ningsih untuk memijat
punggungku yang pegal. Seharian penuh bersidang memang membutuhkan
stamina yang prima. Agar tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak ada
salahnya memberi pengalaman pada orang baru.
Gadis itu muncul masih dengan daster merah tipisnya sambil membawa
minyak gosok. Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, “Nduk, kamu sudah punya pacar belum..?”
“Disini belum Ndoro..” jawab gadis itu.
“Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?”
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, “Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya putus.”
“Lho, kenapa..?”
“Habis mau enaknya saja dia.”
“Mau enaknya saja gimana..?” kejarku.
“Eh.. itu, ya.. maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak kawin nggak mau.”
Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, “Nduk, kamu sudah punya pacar belum..?”
“Disini belum Ndoro..” jawab gadis itu.
“Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?”
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, “Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya putus.”
“Lho, kenapa..?”
“Habis mau enaknya saja dia.”
“Mau enaknya saja gimana..?” kejarku.
“Eh.. itu, ya.. maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak kawin nggak mau.”
Aku membalikkan badan agar dadaku juga turut dipijat.
“Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?”
Wajah Ningsih memerah, “Ya.. itu.. ngajak kelonan.. tidur telanjang bareng..”
“Kamu mau aja..?”
“Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!”
Aku tertawa, “Lha apa nggak belepotan..?”
“Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan.”
“Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?”
Wajah Ningsih memerah, “Ya.. itu.. ngajak kelonan.. tidur telanjang bareng..”
“Kamu mau aja..?”
“Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!”
Aku tertawa, “Lha apa nggak belepotan..?”
“Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan.”
Aku semakin terbahak, “Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?”
“Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau, tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan.”
“Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?” godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, “Eh.. katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?”
“Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau, tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan.”
“Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?” godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, “Eh.. katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?”
Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku sambil menggosokkan minyak
ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya
yang longgar tampak belahan buah dadanya yang montok alami tanpa
penopang apapun.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang, aku menggoda, “Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma diemut..?”
Pipi Ningsih kini merah padam, “Mmm.. memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?”
“Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?”
Ningsih hanya tersenyum malu.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang, aku menggoda, “Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma diemut..?”
Pipi Ningsih kini merah padam, “Mmm.. memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?”
“Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?”
Ningsih hanya tersenyum malu.
“Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!”
“Ehm.., kalau hamil gimana..?”
“Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab..”
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya.
“Ehm.., kalau hamil gimana..?”
“Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab..”
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya.
Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku, gadis itu dengan tersipu
menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua payudaranya.
Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang
nyaris telanjang, sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah. Dengan
tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar ia
berbaring di sisiku.
Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di
atas kasur seempuk ini. Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi
bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi
sekujur tubuhnya dan meremas-remas kedua payudaranya yang kenyal
menggiurkan. Puting susunya yang kemerahan terasa keras mengacung. Kedua
payudara gadis itu tidak terlalu besar, namun montok pas segenggaman
tangan. Dan kedua bukit itu berdiri tegak menantang, tidak menggantung.
Gadis desa ini memang sedang ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan
dinikmati.
“Mmmhh.. Oh! Ahh! Oh.. Ndoroo.. eh.. mm.. burungnya.. mau Ningsih
emut dulu nggak..?” tanya gadis itu diantara nafasnya yang
terengah-engah.
“Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut.”
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga kini gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya kejantananku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya.
“Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut.”
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga kini gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya kejantananku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya.
Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai
mengulum kejantananku, memainkan lidahnya dan menghisap dengan mulut
mungilnya sampai pipinya ‘kempot’. Gadis ini ternyata pintar membuat
kejantananku cepat gagah.
“Ehm.. srrp.. mm.. crup! Ahmm.. mm.. mmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrp..!”
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum, masih perawan.
“Ehm.. srrp.. mm.. crup! Ahmm.. mm.. mmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrp..!”
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum, masih perawan.
Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku
menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang masih
perawan. Merasa kejantananku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih
mengambil pisau cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang.
Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil bantal berusaha untuk menutupi
ketelanjangannya.
Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang
menekuk lutut dan merenggangkan pahanya, mempertontonkan rambut
kemaluannya yang hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam, langsung kucukur
habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang
karena perih tanpa berani menolak. Kini bibir kemaluan Ningsih mulus
kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang belum cukup umur,
namun dengan payudara yang kencang.
Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang telanjang
bulat tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang wajah
dan menutupi payudaranya dengan telapak tangan. Namun segera kutarik
kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan paha gadis itu
yang sudah mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan mata menantikan
saatnya mempersembahkan keperawanannya.
Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir saat jemariku
mempermainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan kedua
paha mulus Ningsih terkangkang semakin lebar. Aku menyapukan ujung
kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat nafasnya semakin
memburu. Perlahan tapi pasti, kejantananku menerobos masuk ke dalam
kehangatan tubuh perawan Ningsih. Ketika selaput dara gadis manis itu
sedikit menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung
kejantananku menyodok dasar liang kemaluan Ningsih. Ternyata kemaluan
gadis ini kecil dan sangat dangkal. Kejantananku hanya dapat masuk
seluruhnya dalam kehangatan keperawanannya bila didorong cukup kuat
sampai menekan dasar kemaluannya. Itu pun segera terdesak keluar lagi.
Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di
selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang selama ini telah
dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani meremas-remas bantal di
kepalanya sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata gadis itu tak
terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih
merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan
kemaluannya yang serasa ‘megap-megap’ dijejali benda sebesar itu. Namun
rasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan tertutup oleh sensasi
geli-geli nikmat yang luar biasa.
Tiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu tergelinjang oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah dirasakannya. Kejantananku bagai diremas-remas dalam liang kemaluan Ningsih yang begitu ‘peret’ dan legit. Dengan perkasa kudorong kejantananku sampai masuk seluruhnya dalam selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil merintih nikmat tiap kali dasar kemaluannya disodok.
Tiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu tergelinjang oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah dirasakannya. Kejantananku bagai diremas-remas dalam liang kemaluan Ningsih yang begitu ‘peret’ dan legit. Dengan perkasa kudorong kejantananku sampai masuk seluruhnya dalam selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil merintih nikmat tiap kali dasar kemaluannya disodok.
“Ahh.. Ndoro..! Aa.. ah..! Aaa.. ahk..! Oooh..! Ndoroo.. Ningsih pengen.. pih.. pipiis..! Aaa.. aahh..!”
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme.
“Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh pipis..!”
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian..
“Nggak tahan Ndoroo..! Ngh..! Ngh..! Nggh! Aaaii.. iik..! Aaa.. aahk..!” Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu rapat bergerak mencucup-cucup.
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme.
“Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh pipis..!”
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian..
“Nggak tahan Ndoroo..! Ngh..! Ngh..! Nggh! Aaaii.. iik..! Aaa.. aahk..!” Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu rapat bergerak mencucup-cucup.
Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik kejantananku keluar dari tubuh Ningsih.
“Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis lagi..!”
Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan mengatur nafasnya yang ‘senen-kamis’. Di pangkal paha gadis itu tampak juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan menutup.
“Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis lagi..!”
Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan mengatur nafasnya yang ‘senen-kamis’. Di pangkal paha gadis itu tampak juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan menutup.
Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal
empuk ke bawah pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu agak
melengkung karena pantatnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali
kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku
dalam liang kemaluan gadis itu. Dengan posisi pantat terganjal, klentit
Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika aku kembali
melanjutkan tusukanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik merasakan
sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan.
“Mau terus apa brenti, Nduk..?” godaku.
“Aii.. iih..! He.. eh..! Terus Ndoroo..! Enak..! Enak..! Aahh.. Aii.. iik..!”
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya.
“Ooo.. ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagii.. iih..!”
“Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!”
“Aa.. aak..! Ampuu.. unnhh..! Ningsih nggak kuat.. Ndoroo..!”
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.
“Aii.. iih..! He.. eh..! Terus Ndoroo..! Enak..! Enak..! Aahh.. Aii.. iik..!”
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya.
“Ooo.. ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagii.. iih..!”
“Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!”
“Aa.. aak..! Ampuu.. unnhh..! Ningsih nggak kuat.. Ndoroo..!”
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.
Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh telanjangnya
tergerinjal saat kusodok dasar liang kegadisannya, membuat kedua pahanya
tersentak mengangkang semakin lebar, semakin mempermudah aku menikmati
tubuh perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga kuremas-remas kedua
payudara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu kuatnya
remasanku hingga cairan putih susu menitik keluar dari putingnya yang
kecoklatan.
“Ahhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndoroo..! Ningsih mau pipiiss..!”
“Ahhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndoroo..! Ningsih mau pipiiss..!”
Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan mencabut kejantanannya justru disaat Ningsih mulai orgasme.
“Mau pipis Nduk..?” tanyaku pura-pura kesal.
“Oohh.. Ndoroo.. terusin dong..! Cuma ‘dikit, nggak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja.
“Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?” aku terus berpura-pura marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berdenyut.
“Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!”
“Mau pipis Nduk..?” tanyaku pura-pura kesal.
“Oohh.. Ndoroo.. terusin dong..! Cuma ‘dikit, nggak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja.
“Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?” aku terus berpura-pura marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berdenyut.
“Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!”
Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih
tubuhnya. Rasanya sebentarlagi gadis itu mau pipis untuk ketiga kalinya.
“Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?” kuremas kedua buah dada montok Ningsih.
“Engh.. Enggak. Nggak berani.” Wajah gadis itu berkerut menahan pipis.
“Awas kalau berani..!” kukeraskan cengkeraman tangannya hingga payudara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu kembali menetes dari putingnya.
“Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?” kuremas kedua buah dada montok Ningsih.
“Engh.. Enggak. Nggak berani.” Wajah gadis itu berkerut menahan pipis.
“Awas kalau berani..!” kukeraskan cengkeraman tangannya hingga payudara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu kembali menetes dari putingnya.
“Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!”
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kemaluannya ditekan kuat.
“Ngh..! Ngh..! Ngghh..! Ahk.. Aaa.. aahh..! Ndoroo.. ampuu.. uun..!”
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya.
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kemaluannya ditekan kuat.
“Ngh..! Ngh..! Ngghh..! Ahk.. Aaa.. aahh..! Ndoroo.. ampuu.. uun..!”
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya.
Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas
menggeluti tubuh perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit montok
yang berdiri menantang di hadapanku dan meremasinya dengan kuat,
meninggalkan bekas kemerahan di kulit payudara Ningsih. Sementara
genjotan demi genjotan kejantananku menyodok kemaluan gadis itu yang
hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan puncak.
Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah,
kenikmatan luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari
selangkangannya. Rasanya seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa
membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja. Kedua pahanya yang
sehari-hari biasanya disilangkan rapat-rapat, kini terkangkang lebar,
sementara liang kemaluannya tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup
kejantananku yang begitu perkasa menggagahinya. Sekujur tubuh gadis itu
basah bersimbah keringat.
“Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan ya..!” Gemas
kucengkeram kedua buah dada Ningsih erat-erat sambil menghentakkan
kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan dangkal gadis itu.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar kemaluannya disodok. Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali tersentak naik menahan nikmat.
“Oooh.. Ndoroo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuu.. unn..!” Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar kemaluannya disodok. Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali tersentak naik menahan nikmat.
“Oooh.. Ndoroo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuu.. unn..!” Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda.
Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah tidak akan pernah
selesai. Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi pipinya.
Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha mulusnya
tersentak terkangkang tiap kali kemaluannya dijejali kejantananku,
nafasnya tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam tubuhnya terasa
ngilu disodok tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek memohon ampun,
majikannya bagai tak kenal lelah terus menggagahi kegadisannya. Bagi
gadis itu seperti bertahun-tahun ia telah melayani majikannya dengan
pasrah.
Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme berkepanjangan, aku tarik
paha Ningsih ke atas hingga menyentuh payudaranya dan merapatkannya.
Akibatnya kemaluan gadis itu menjadi semakin sempit menjepit
kejantananku yang terus menghentak keluar masuk. Ningsih berusaha
kembali mengangkang, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua paha
mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar,
sedangkan bibirnya merah merekah membentuk huruf ‘O’ tanpa ada suara
yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di
selangkangannya kini semakin menjadi-jadi.
Aku semakin bersemangat menggenjotkan kejantananku dalam hangatnya
cengkeraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik
nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kemaluannya
disodok keras.
“Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” aku semakin geram merasakan kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup kejantananku.
“Ahh..! Ampuu..uun.. ampun.. Ndoro! Aduh.. sakiit.. ampuu.. un..!”
“Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” aku semakin geram merasakan kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup kejantananku.
“Ahh..! Ampuu..uun.. ampun.. Ndoro! Aduh.. sakiit.. ampuu.. un..!”
Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kuremas
kedua payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat
dan cairan putih dari putingnya, menumpukan seluruh berat tubuhku pada
tubuh gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di antara tubuh
kami, membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya ranjang.
Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya yang padat telanjang
dan ‘peret’-nya kemaluannya yang masih perawan membuatku semakin hebat
menggeluti gadis itu.
“Aduh! Aduu.. uuhh.. sakit Ndoro! Aaah.. aamm.. aammpuun.. ampuu.. uun Ndoro.. Ningsih.. pipii.. iis! Aaamm.. puun..!”
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah dada Ningsih yang halus mulus.
“Aduh! Aduu.. uuhh.. sakit Ndoro! Aaah.. aamm.. aammpuun.. ampuu.. uun Ndoro.. Ningsih.. pipii.. iis! Aaamm.. puun..!”
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah dada Ningsih yang halus mulus.
Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan
Ningsih yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga
meremas-remas kedua buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal
antara sakit dan nikmat.
“Ahk! Auh..! Aaa.. aauuhh! Oh.. ampuu..uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuun! Amm.. mmh..!Aaa.. aakh..!”
“Ahk! Auh..! Aaa.. aauuhh! Oh.. ampuu..uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuun! Amm.. mmh..!Aaa.. aakh..!”
Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal,
membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis itu
memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk tubuhku
dan mengelus-elus punggungku.
Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih
beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat
melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas,
Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di samping
ranjang.
Keheranan aku bertanya, “Ngapain kamu, Nduk..?”
“Katanya.. biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.
Keheranan aku bertanya, “Ngapain kamu, Nduk..?”
“Katanya.. biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerita Dewasa
dengan judul Cerita Dewasa : ML Dengan Pembantuku Ning sih Yang Manizz. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintasintim.blogspot.com/2014/01/cerita-dewasa-ml-dengan-pembantuku-ning.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Meisya - Senin, 27 Januari 2014